ABSTRAK
Tulisan ini dilatarbelakangi
oleh bervariasinya dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan
putusan arbitrase. Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana alasan
pembatalan putusan arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 dan bagaimana
alasan pembatalan putusan arbitrase menurut putusan peradilan. Pada akhir
tulisan, menyimpulkan
bahwa pembatalan putusan arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 alasannya sudah ditentukan secara
limitatif, namun
menurut putusan peradilan, alasannya
tidak terbatas hanya pada alasan yang sudah ditentukan oleh Pasal 70 UU Nomor
30 Tahun 1999. Akhir tulisan juga menyarankan
agar para pihak yang berkepentingan perlu lebih memahami ketentuan-ketentuan pembatalan putusan arbitrase
berdasar produk hukum Indonesia
maupun Konvensi New York 1958, serta perlu dilakukan
revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun
1999 khususnya perihal ketentuan pembatalan putusan arbitrase, sehingga selaras
dengan ketentuan yang berlaku secara internasional, misalnya UNCITRAL Model Law.
1. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
893 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 5 April 2013
Alasan
permohonan pembatalan putusan arbitrase di Pengadilan Negeri (PN) dari Pemohon adalah
alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 jo.
Pasal 178 HIR yaitu bahwa Terbanding II (BANI) telah memberikan putusan tanpa
didasari dengan pertimbangan yang cukup (Onvoldonde
Gemativeerd).
Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkara memutus “Menolak Gugatan Penggugat
untuk seluruhnya”, dengan pertimbangan diantaranya,
"Menimbang bahwa menurut penjelasan Pasal 70
Undang-Undang Arbitrase, Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap
Putusan Arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan
Putusan Pengadilan. Apabila Pengadilan
menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti,
maka Putusan Pengadilan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan bagi
hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan;"
"Menimbang, bahwa berdasarkan uraian
bukti-bukti dari Penggugat (P-1 s/d P-6 serta keterangan 2 (dua) orang saksi
yaitu saksi ELISA MOCHTAR dan saksi TAN KA SIONG AL IRAWAN N) tersebut di atas
tidak ditemukan adanya alasan gugatan (Permohonan) Pembatalan Putusan BANI No.
415NIIIARB-BANI12011 tanggal 28 Mei 2012 sesuai dengan ketentuan Pasal 70 a, b,
dan c, UU Arbitrase;"
Pada
tingkat Banding, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut dikuatkan
oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan,
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan, oleh karena Judex Facti/Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak
salah menerapkan hukum dengan pertimbangan
bahwa alasan kasasi bukan alasan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 huruf a, b, c Undang-Undang Arbitrase
dan juga tidak ada alat bukti putusan
Pengadilan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 70 Undang-Undang
Arbitrase, dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dapat membatalkan putusan
(Lembaga Arbitrase/BANI)”
Menurut
Penulis, pertimbangan Majelis Hakim
dalam perkara tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun
1999, bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase sudah ditentukan secara limitatif, hanya alasan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 70 huruf a, b, c UU Nomor 30 Tahun 1999 dan alasan yang
digunakan dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase harus terlebih dahulu dibuktikan
dengan putusan pengadilan.
Jadi
dalam perkara Nomor 893 K/Pdt.Sus/2012, alasan pembatalan putusan arbitrase
menurut Hakim sama dengan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.
2.Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 367 K/Pdt.Sus-Arbt/2013 tanggal 26 Agustus
2013
Alasan
pokok permohonan pembatalan putusan arbitrase diantaranya adalah:
“Setelah Putusan Arbitrase a quo diambil,
ternyata ditemukan dokumen penting yang bersifat menentukan yang patut diduga
telah disembunyikan oleh Pemohon Arbitrase (in casu Turut Termohon), ...”
dan
“Majelis Arbitrase dalam Perkara No. Reg.:
004/BAKTI-ARB/04.2012 telah membuat Putusan Arbitrase yang bertentangan dengan
hukum karena mengadili Pemohon II sebagai pihak dan memaksanya tunduk pada
Putusan Arbitrase a quo tanpa adanya perjanjian arbitrase”.
Pengadilan
Negeri Jakarta Barat memberikan putusan Nomor 1142/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar., yang
salah satu amarnya, “Menyatakan bahwa
putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Perkara No. Reg.
004/BAKTI-ARB/04.2012 tanggal 8 November 2012 adalah batal demi hukum beserta segala akibat hukumnya[1]”
Atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat Nomor 1142/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar, Pemohon
I dahulu Turut Termohon Pembatalan Putusan Arbitrase dan BADAN ARBITRASE
PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI (BAKTI) mengajukan banding dengan salah satu
alasan, “...Judex Facti telah menjatuhkan putusannya di luar alasan-alasan yang
telah secara limitatif disebutkan Pasal 70 UU No. 30/1999.”
Di tingkat banding, Mahkamah Agung menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1142/ Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar.,
tanggal 15 April 2013 yang membatalkan putusan Badan Arbitrase Perdagangan
Berjangka Komoditi (BAKTI) Nomor 004/BAKTI-ARB/04.2012 tanggal 8 November 2012. Adapun dasar pertimbangan Mejelis Hakim
diantaranya adalah:
“Bahwa tidak ada Perjanjian atau Klausula
Arbitrase secara tertulis yang mengikat Pembanding dan Terbanding II, padahal
ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dengan tegas menyatakan bahwa agar perselisihan dapat
diajukan ke Arbitrase harus didasarkan pada adanya Klausula Arbitrase atau
Perjanjian Arbitrase secara tertulis.”
dan
“Bahwa kemudian Terbanding II menjadi salah
satu pihak yang berperkara di hadapan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI), hal tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai adanya
penundukan diri, sebab Undang-Undang Arbitrase tegas menyatakan bahwa
Perjanjian Arbitrase harus dalam bentuk tertulis.”
Penulis berpendapat tidak sama dengan pertimbangan Majelis
Hakim perkara ini pada tingkat
Pengadilan Negeri maupun pada tingkat Banding di Mahkamah Agung.
Perjanjian arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[2] Jika dikaitkan dengan pengertian arbitrase,
maka perjanjian arbitrase merupakan dasar atau syarat utama dilaksanakannya
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Perjanjian arbitrase memberikan kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa.
Tidak
ada arbitrase tanpa adanya perjanjian arbitrase, namun demikian tidak adanya klausula arbitrase atau
perjanjian arbitrase secara tertulis
bukan merupakan alasan yang dapat digunakan sebagai dasar pembatalan putusan
arbitrase. Berdasarkan ketentuan
Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, hanya ada tiga alasan secara alternatif
sebagai dasar untuk permohonan pembatalan putusan arbitrase, yaitu: (a) surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu, (b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa. Merujuk pada
ketentuan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, maka tidak adanya klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase secara tertulis bukan merupakan alasan yang
dapat digunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.
Dalam hal ada suatu
arbitrase tanpa didahului oleh adanya klausula arbitrase atau perjanjian
arbitrase secara tertulis, maka putusan arbitrase dapat ditolak pelaksanaannya
karena bertentangan dengan ketertiban umum.
Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase merupakan hak dari Pengadilan
Negeri. Dasar penolakannya adalah Pasal
62 ayat (3) jo Pasal 62 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun
1999. Pasal 62 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan,
“Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.”;
dan Pasal 62 ayat
(2) UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan, “
“Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta
tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.”,
sedangkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999
mengatakan,
“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa
sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak
telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam
perjanjian mereka.”
3.Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 250 K/PDT.SUS/2009 tanggal 19 Mei 2009
Alasan
pokok permohonan pembatalan putusan arbitrase adalah Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 70 huruf c UU Nomor 30 Tahun 1999.
Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkara memutus “Menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijke Verklaard)”, dengan pertimbangan diantaranya:
-
Menimbang, bahwa dengan tidak diikutkannya pihak PT. GDE,
permohonan Pemohon menurut hemat Hakim tidak sempurna” dan
-
“Menimbang, karena permohonannya tidak sempurna, maka
sepatutnya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).
Menurut
pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk menjadikan terang
perkara ini apakah benar dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan Putusan BANI a quo adalah palsu atau dinyatakan
palsu, maka PT. GDE harus ditarik sebagai pihak, sehingga ada keseimbangan
antara kedua belah pihak dalam mengemukakan bukti-bukti dan fakta.
Pada tingkat Banding, Mahkamah Agung
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 267/Pdt
P/2008/PN.Jkt.Sel. Dasar alasan Mahkamah Agung pada tingkat banding menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah “Bahwa gugatan yang diajukan
oleh Pemohon adalah gugatan pembatalan Putusan Arbitrase”, “bahwa pembatalan
Putusan Arbitrase hanya mungkin dilakukan apabila memenuhi syarat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”, “bahwa ternyata
dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan Pemohon karena tidak diikutkan
pihak yang lain yang berhubungan dengan surat yang disangka palsu tersebut.
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 70
jo Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999,
dimana Penjelasan Pasal 70 menyatakan, “... Alasan permohonan pembatalan yang
disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan....”, maka menurut pendapat Penulis, pembuktian ada
atau tidaknya tipu muslihat berdasarkan bukti surat dalam bentuk putusan
pengadilan yang harus ditunjukkan oleh Pemohon bukan oleh kehadiran Termohon.
Penulis
berpendapat bahwa putusan seharusnya “Menyatakan menolak permohonan Pemohon” bukan
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)”. Pendapat
Penulis ini dengan alasan bahwa:
i. pembuktian ada atau tidaknya tipu muslihat berdasarkan
bukti surat dalam bentuk putusan pengadilan yang harus ditunjukkan oleh Pemohon
bukan oleh kehadiran Termohon;
ii.
Pemohon tidak menunjukkan bukti surat berupa putusan
pengadilan pidana; dan
iii.
Berdasarkan ketentuan Pasal 70 jo Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.
4.Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 163/PDT.G/ARB/2016/PN.JKT.PST tanggal 26
Mei 2016
Alasan
pokok permohonan pembatalan putusan arbitrase salah satunya adalah “Putusan
BANI Nomor : 624/X/ARB-BANI/2014 diambil berdasarkan hasil tipu muslihat yang
dilakukan Turut Termohon terkait nilai kerugian.”
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkara adalah “Menyatakan
Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor 624/X/ARB-BANI/2014 tanggal 18
Februari 2016 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat” dan “Membatalkan Putusan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia tanggal 18 Februari 2016 berikut segala
akibat hukumnya”.
Pertimbangan
Majelis Hakim diantaranya adalah:
“Menimbang, bahwa
menyikapi tentang Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase tersebut, maka Mahkamah
Konstitusi di dalam Putusannya Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014
telah membatalkan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 karena
dirasa bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;”
“Menimbang, bahwa
berkaitan dengan dalil yang dikemukakan oleh Termohon dan Turut Termohon, benar
setelah Majelis memperhatikan dan mencermati serta mempelajari bukti surat yang
diajukan dalam perkara ini, khususnya bukti surat yang diajukan oleh Pemohon,
Majelis Hakim tidak menemukan padanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap sebagai dasar Pemohon untuk mengajukan permohonannya;”
“Menimbang, bahwa
menurut Majelis Hakim berpendapat kalau PT. PML telah melakukan pengecekan
lahan seluas lebih kurang 2.836 (dua
ribu delapan ratus tiga puluh enam) Ha apalagi dengan menghitung jumlah
kerugian apalagi ditambah dengan menghitung jumlah kerusakan hutan yang hanya dilakukan dalam waktu 1 (satu) hari
menurut hemat Majelis adalah tidak mungkin, karena itu maka alasan
pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pemohon adalah dapat
dibenarkan, sehingga menurut hemat Majelis unsur
adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. PML dapatlah dibuktikan;”
“Menimbang, bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat putusan Arbitrase
BANI Perkara Nomor : 624/X/ARB-BANI/2014, tidak dapat dipertahankan lagi dan
harus dibatalkan.”
Penulis
sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim
perkara ini karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
15/PUU-XII/2014, pembatalan putusan arbitrase dengan dasar
alasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tidaklah diperlukan terlebih dahulu
adanya putusan perkara pidana.
Dari
pertimbangan di atas menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangannya
telah memasukkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 yang menyatakan
bahwa Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Pembuktian adanya tipu muslihat
sudah tidak didasarkan pada adanya putusan pengadilan dari pengadilan pidana
sebelumnya, namun berdasarkan pemeriksaan dalam sidang permohonan pembatalan
putusan arbitrase itu sendiri, yaitu
“... hanya dilakukan dalam waktu 1
(satu) hari menurut hemat Majelis adalah tidak mungkin, karena itu maka
alasan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pemohon adalah dapat
dibenarkan, sehingga menurut hemat Majelis unsur
adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. PML dapatlah dibuktikan;”
Pada
tingkat Banding, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 163/PDT.G/ARB/2016/PN.JKT.PST
tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 807.
B/Pdt.Sus-Arbt/2016 dengan salah satu pertimbangannya,
“Bahwa kesimpulan Judex Facti yang berpendapat bahwa
tidak mungkindapat melakukan pengecekan dan lain-lain atas lahan seluar 2.836
Ha hanya dalam waktu 1 (satu) hari saja tidak dapat dibenarkan, karena tidak ternyata
(tidak terbukti) penarikan kesimpulan atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh
Judex Facti dalam perkara a quo tidak didasarkan suatu fakta yang benar-benar
telah terjadi dan dilakukan oleh Turut Tergugat dengan cara pengecekan manual
atau sederhana seperti di masa-masa 20 atau 30 tahun yang lalu yang dapat
mengarahkan Judex Facti untuk membuat suatu kesimpulan tidak mungkin tersebut,
dan pula Judex Facti dalam menyimpulkan hal tersebut tidak ternyata berdasarkan
adanya bukti pembanding atas hasil appraisal yang sah tersebut”
Dari
pertimbangan di atas, menunjukkan bahwa
Majelis Hakim pada tinggkat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung menunjukkan
bahwa untuk membuktikan ada atau tidaknya tipu muslihat dalam Putusan Arbitrase
tidak digantungkan pada putusan peradilan pidana terlebih dahulu.
5. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Pembatalan
putusan arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999, alasannya sudah ditentukan
secara limitatif. Putusan arbitrase
dapat diajukan permohonan pembatalan hanya apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu
atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 UU
Nomor 30 Tahun 1999 harus pula memenuhi persyaratat formil, bahwa alasan
permohonan pembatalan yang digunakan dasar permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.[3] Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 15/PUU-XII/2014, alasan permohonan pembatalan yang digunakan dasar
permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak
harus dibuktikan dengan putusan pengadilan terlebih dahulu.
2. Dari
putusan-putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa alasannya
tidak terbatas hanya pada alasan yang sudah ditentukan oleh Pasal 70 UU Nomor
30 Tahun 1999.
Saran
1. Para pihak perlu
lebih memahami ketentuan-ketentuan pembatalan putusan arbitrase berdasar produk
hukum Indonesia maupun Konvensi NewYork 1958. Saran ini mengingat bahwa dalam praktek masih
ditemukan permohonan pembatalan menggunakan dasar alasan penolakan dan
sebaliknya, permohonan pembatalan
putusan arbitrase internasional diajukan ke pengadilan di Indonesia dan lain
sebagainya.
2. Perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999
khususnya perihal ketentuan pembatalan putusan arbitrase, agar selaras dengan ketentuan yang berlaku secara
internasional, misalnya UNCITRAL Model
Law.