Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.[1] Dengan memilih arbitrase sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, seharusnya para pihak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Namun demikian, kadang atau bahkan sering ada pihak yang tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase. UU Nomor 30 Tahun 1999 memberikan ketentuan langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela. Pengaturan Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional berbeda dengan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64, sedangkan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di atur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.
Agar
putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan dengan perintah Ketua Pengadilan
Negeri, putusan arbitrase tersebut harus didaftarkan dahulu ke Panietra Pengadilan Negeri.[2] Dalam hal para pihak tidak melaksanakan
putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah
Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.[3] Sebelum memberikan perintah pelaksanaan,
Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, serta tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi
ketentuan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, Ketua
Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan
Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.[4] Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999
menentukan,
“Pasal 4
(1)
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di
antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah
memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam
perjanjian mereka.
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui
arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks,
telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib
disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.”
“Pasal 5
(1)
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.”
Adapun
khusus Putusan Arbitrase internasional, yang berwenang menangani masalah
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Pasal
66 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya
diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat
pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan
dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud
dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud
dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang
tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud
dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu
pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi, maka
pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara
relatif berwenang melaksanakannya. Sita
eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon
eksekusi. Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara
sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.[5]
[2] Ibid., Pasal 59 ayat (1) jo ayat (4). “Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri.” dan
“Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan
arbitrase tidak dapat dilaksanakan.”
No comments:
Post a Comment