Di Indonesia, saat ini undang undang yang mengatur tentang arbitrase adalah Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN No. 138 Tahun 1999 TLN No.3872 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 1999. Jauh sebelumnya, arbitrase sudah berlaku di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Ketentuan arbitrase zaman kolonial Belanda di atur dalam Pasal 615 sampai dengan 651 Reglement op de Rechtsvordering (RV), yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
i.
Pasal 615 sampai
dengan 623 tentang Perjanjian Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter.
ii.
Pasal 624 sampai
dengan 630 tentang Pemeriksaan di hadapan Arbitrase.
iii. Pasal 631 sampai dengan 640 tentang Putusan arbitrase.
iv. Pasal 641 sampai dengan 647 tentang Upaya-upaya atas
putusan arbitrase.
v.
Pasal 648 sampai
dengan 651 tentang Berakhirnya Acara Arbitrase.,
RV merupakan Kitab Undang Undang
Hukum Acara yang berlaku untuk golongan Eropa, namun Pasal 377 Het Herziene Indonesisch Reglement
(HIR), dan Pasal 705 Rechtsreglement
Bitengewesten (RBG) menyatakan:
“Jika orang
Bumiputera dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh
arbitrase (juru pisah), maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropa”,
sehingga dapat disimpulkan bahwa:
i.
para pihak yang
bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau
arbitrase;
ii.
juru pisah atau
arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan
(sengketa) yang timbul; dan
iii. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk
menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa.
Setelah Indonesia merdeka, Pasal 615
sampai dengan 651 RV jo Pasal 377 HIR jo Pasal 705 RBG tetap berlaku di
Indonesia. Dasar berlakunya ketentuan
tersebut setelah Indonesia merdeka adalah:
- Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945[1],
- Pasal 142
Ketentuan Peralihan UUDS 1950[2],
dan
- Pasal 192
Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS.[3]
Sejak
tanggal 12 Agustus 1999 yaitu dengan diundangkannya Undang - Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian, maka Pasal 615 sampai
dengan 651 RV jo Pasal 377 HIR jo Pasal 705 RBG sudah tidak berlaku lagi[4]. Paragraf keenam Penjelasan Umum UU Nomor 30
Tahun 1999 menyebutkan,
“Dengan
perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan
baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka
peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglementop de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman
arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan
dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan condido sine qua non sedangkan hal
tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglementop de Rechtvordefing). Bertolak dari kondisi ini,
perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun
substantif sudah saatnya dilaksanakan.”
Materi
yang di atur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 adalah:
a.
Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5);
b.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 6);
c.
Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbitrase, dan Hak Ingkar
(Pasal 7 sampai dengan Pasal 26);
d.
Hukum Acara Arbitrase (Pasal 27 sampai dengan Pasal 51);
e.
Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52 sampai dengan
Pasal 58);
f.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59 sampai dengan
Pasal 69);
g.
Pembatalan Putusan Arbitrase (Pasal 70 sampai dengan
Pasal 72);
h.
Berakhirnya Tugas Arbitrase (Pasal 73 sampai dengan Pasal
75);
i.
Biaya Arbitrase (Pasal 76 dan Pasal 77);
j.
Ketentuan Peralihan (Pasal 78 sampai dengan Pasal 80);dan
k.
Ketentuan Penutup (Pasal 81 dan Pasal 82).
Selain
UU Nomor 30 Tahun 1999, sumber hukum berlakunya arbitrase dalam tata hukum di
Indonesia diatur juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasan
Kehakiman. UU Nomor
48 Tahun 2009 pada Bab Pelaku Kekuasaan Kehakiman
Bagian Kesatu Umum Pasal 18 menyebutkan,
“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Namun demikian
dalam Bab Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Pasal 58, disebutkan, “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.”
Selain
produk hukum Indonesia, dalam hukum arbitrase di Indonesia juga berlaku produk
hukum dari luar negeri yaitu Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign atau sering disebut Konvensi
New York 1958. Konvensi New York 1958
dengan tambahan pernyataan yang dibuat Indonesia menjadi hukum positif
Indonesia karena sudah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 40.[5]
Pada
saat melakukan ratifikasi, Indonesia membuat deklarasi bahwa bagi Indonesia
Konvensi New York 1958 hanya berlaku terhadap perselisihan-perselisihan yang
timbul dari hubungan hukum, baik hubungan hukum yang bersifat kontraktual
maupun hubungan hukum yang tidak bersifat kontraktual, yang dianggap bersifat
komersial berdasar hukum Indonesia.
Bahwa atas dasar prinsip resiproritas, Indonesia akan memberlakukan
Konvensi New York 1958 untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase yang
dibuat di negara anggota Konvensi lainnya.[6]
[1] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Pasal II Aturan
Peralihan, “Segala Badan Negara dan
Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini”
[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pasal 142 Ketentuan Peralihan, “Peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang
sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak burubah
sebagai peraturan-peraturan RI sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh
Undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa UUD ini”
[3] Indonesia, Konstitusi RIS. Pasal 192 Ketentuan Peralihan, “Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku
dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini”.
[4] Indonesia,Undang-Undang tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengkata, UU
No. 30 Tahun 1999, LN No. 138 Tahun
1999, TLN No.3872, Pasal 81. “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku,
ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechrsvordering, Staatsblad
1847.52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941.44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Reehtsregement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
[5] Mengesahkan
"Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards" yang
telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni
1959, disertai suatu pernyataan, yang naskah-naskahnya terlampir pada Keputusan
Presiden ini.
Casino - Dr.MCD
ReplyDeleteWe 군산 출장샵 are located in Las Vegas, Nevada, United States and is open 아산 출장샵 daily 24 거제 출장안마 hours. The casino's 50000 square foot gaming 서울특별 출장안마 space features more than 1,300 광양 출장안마