DISCLAIMER

Tulisan-tulisan pada blog ini merupakan tulisan pribadi Penulis. Apabila Penulis mengutip dari karya orang lain, maka Penulis akan mencantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemikiran/analisis/pendapat (seandainya ada) dari Penulis bersifat umum dan tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum. Untuk nasehat hukum yang dapat diterapkan pada permasalahan yang anda hadapi, silakan menghubungi kami melalui email: budi@tbs-plus.com.

Monday, August 21, 2017

ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (Membandingkan Putusan Peradilan vs Pasal 70 UU Arbitrase)

  ABSTRAK

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh bervariasinya dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan putusan arbitrase. Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana alasan pembatalan putusan arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 dan bagaimana alasan pembatalan putusan arbitrase menurut putusan peradilan. Pada akhir tulisan, menyimpulkan bahwa pembatalan putusan arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 alasannya sudah ditentukan secara limitatif, namun menurut  putusan peradilan, alasannya tidak terbatas hanya pada alasan yang sudah ditentukan oleh Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.  Akhir tulisan juga menyarankan agar para pihak yang berkepentingan perlu lebih memahami ketentuan-ketentuan pembatalan putusan arbitrase berdasar produk hukum  Indonesia maupun  Konvensi New York 1958, serta perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 khususnya perihal ketentuan pembatalan putusan arbitrase, sehingga selaras dengan ketentuan yang berlaku secara internasional, misalnya UNCITRAL Model Law.


1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor  893 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 5 April 2013

Alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase di Pengadilan Negeri (PN) dari Pemohon adalah alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999  jo. Pasal 178 HIR yaitu bahwa Terbanding II (BANI) telah memberikan putusan tanpa didasari dengan pertimbangan yang cukup (Onvoldonde Gemativeerd).

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkara memutus “Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya”, dengan pertimbangan diantaranya,

"Menimbang bahwa menurut penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase, Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap Putusan Arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan Putusan Pengadilan. Apabila Pengadilan  menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka Putusan Pengadilan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan;"


"Menimbang, bahwa berdasarkan uraian bukti-bukti dari Penggugat (P-1 s/d P-6 serta keterangan 2 (dua) orang saksi yaitu saksi ELISA MOCHTAR dan saksi TAN KA SIONG AL IRAWAN N) tersebut di atas tidak ditemukan adanya alasan gugatan (Permohonan) Pembatalan Putusan BANI No. 415NIIIARB-BANI12011 tanggal 28 Mei 2012 sesuai dengan ketentuan Pasal 70 a, b, dan c, UU Arbitrase;"

Pada tingkat Banding, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan,

Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti/Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan  bahwa alasan kasasi bukan alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 huruf a, b, c Undang-Undang Arbitrase dan juga tidak ada alat bukti putusan Pengadilan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase, dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dapat membatalkan putusan (Lembaga Arbitrase/BANI)”


Menurut Penulis,  pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase sudah ditentukan secara limitatif, hanya alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 huruf a, b, c UU Nomor 30 Tahun 1999 dan alasan yang digunakan dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase harus terlebih dahulu dibuktikan dengan putusan pengadilan. 

Jadi dalam perkara Nomor 893 K/Pdt.Sus/2012, alasan pembatalan putusan arbitrase menurut Hakim sama dengan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.

2.Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor  367 K/Pdt.Sus-Arbt/2013 tanggal 26 Agustus 2013

Alasan pokok permohonan pembatalan putusan arbitrase diantaranya adalah:

Setelah Putusan Arbitrase a quo diambil, ternyata ditemukan dokumen penting yang bersifat menentukan yang patut diduga telah disembunyikan oleh Pemohon Arbitrase (in casu Turut Termohon), ...”

dan

Majelis Arbitrase dalam Perkara No. Reg.: 004/BAKTI-ARB/04.2012 telah membuat Putusan Arbitrase yang bertentangan dengan hukum karena mengadili Pemohon II sebagai pihak dan memaksanya tunduk pada Putusan Arbitrase a quo tanpa adanya perjanjian arbitrase”.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat memberikan putusan Nomor 1142/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar., yang salah satu amarnya, “Menyatakan bahwa putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Perkara No. Reg. 004/BAKTI-ARB/04.2012 tanggal 8 November 2012 adalah batal demi hukum beserta segala akibat hukumnya[1]

        Atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1142/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar,  Pemohon I dahulu Turut Termohon Pembatalan Putusan Arbitrase dan BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI (BAKTI) mengajukan banding dengan salah satu alasan, “...Judex Facti telah menjatuhkan putusannya di luar alasan-alasan yang telah secara limitatif disebutkan Pasal 70 UU No. 30/1999.”

            Di tingkat banding, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1142/ Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar., tanggal 15 April 2013 yang membatalkan putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Nomor 004/BAKTI-ARB/04.2012 tanggal 8 November 2012.  Adapun dasar pertimbangan Mejelis Hakim diantaranya adalah:

Bahwa tidak ada Perjanjian atau Klausula Arbitrase secara tertulis yang mengikat Pembanding dan Terbanding II, padahal ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan tegas menyatakan bahwa agar perselisihan dapat diajukan ke Arbitrase harus didasarkan pada adanya Klausula Arbitrase atau Perjanjian Arbitrase secara tertulis.”

dan

Bahwa kemudian Terbanding II menjadi salah satu pihak yang berperkara di hadapan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI), hal tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai adanya penundukan diri, sebab Undang-Undang Arbitrase tegas menyatakan bahwa Perjanjian Arbitrase harus dalam bentuk tertulis.”

            Penulis berpendapat tidak sama dengan pertimbangan Majelis Hakim  perkara ini pada tingkat Pengadilan Negeri maupun pada tingkat Banding di Mahkamah Agung. 
           
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[2]  Jika dikaitkan dengan pengertian arbitrase, maka perjanjian arbitrase merupakan dasar atau syarat utama dilaksanakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.  Perjanjian arbitrase memberikan kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa. 

Tidak ada arbitrase tanpa adanya perjanjian arbitrase, namun demikian tidak adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase secara tertulis bukan merupakan alasan yang dapat digunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.    Berdasarkan ketentuan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, hanya ada tiga alasan secara alternatif sebagai dasar untuk permohonan pembatalan putusan arbitrase, yaitu: (a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,  diakui palsu atau dinyatakan palsu, (b)  setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.  Merujuk pada ketentuan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, maka tidak adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase secara tertulis bukan merupakan alasan yang dapat digunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.

Dalam hal  ada suatu arbitrase tanpa didahului oleh adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase secara tertulis, maka putusan arbitrase dapat ditolak pelaksanaannya karena bertentangan dengan ketertiban umum.  Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase merupakan hak dari Pengadilan Negeri.  Dasar penolakannya adalah Pasal 62 ayat (3) jo Pasal 62 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999. Pasal 62 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan,

Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.”;

dan Pasal 62 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan, “

Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.”,


sedangkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan,


Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.”


3.Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor  250 K/PDT.SUS/2009  tanggal 19 Mei 2009

Alasan pokok permohonan pembatalan putusan arbitrase adalah Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 70 huruf c  UU Nomor 30 Tahun 1999.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkara memutus “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)”, dengan pertimbangan diantaranya:
-       Menimbang, bahwa dengan tidak diikutkannya pihak PT. GDE, permohonan Pemohon menurut hemat Hakim tidak sempurna” dan
-       “Menimbang, karena permohonannya tidak sempurna, maka sepatutnya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).

Menurut pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk menjadikan terang perkara ini apakah benar dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan Putusan BANI a quo adalah palsu atau dinyatakan palsu, maka PT. GDE harus ditarik sebagai pihak, sehingga ada keseimbangan antara kedua belah pihak dalam mengemukakan bukti-bukti dan fakta.

            Pada tingkat Banding, Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 267/Pdt P/2008/PN.Jkt.Sel. Dasar alasan Mahkamah Agung pada tingkat banding menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah “Bahwa gugatan yang diajukan oleh Pemohon adalah gugatan pembatalan Putusan Arbitrase”, “bahwa pembatalan Putusan Arbitrase hanya mungkin dilakukan apabila memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”, “bahwa ternyata dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan Pemohon karena tidak diikutkan pihak yang lain yang berhubungan dengan surat yang disangka palsu tersebut.

            Jika merujuk pada ketentuan Pasal 70 jo  Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, dimana Penjelasan Pasal 70 menyatakan, “... Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan....”, maka menurut pendapat Penulis, pembuktian ada atau tidaknya tipu muslihat berdasarkan bukti surat dalam bentuk putusan pengadilan yang harus ditunjukkan oleh Pemohon bukan oleh kehadiran Termohon.  

Penulis berpendapat bahwa putusan seharusnya “Menyatakan menolak permohonan Pemohon”  bukan  “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)”. Pendapat Penulis ini dengan alasan bahwa:
i.     pembuktian ada atau tidaknya tipu muslihat berdasarkan bukti surat dalam bentuk putusan pengadilan yang harus ditunjukkan oleh Pemohon bukan oleh kehadiran Termohon;
ii.      Pemohon tidak menunjukkan bukti surat berupa putusan pengadilan pidana; dan
iii.    Berdasarkan ketentuan Pasal 70 jo Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.

4.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 163/PDT.G/ARB/2016/PN.JKT.PST tanggal 26 Mei 2016

Alasan pokok permohonan pembatalan putusan arbitrase salah satunya adalah “Putusan BANI Nomor : 624/X/ARB-BANI/2014 diambil berdasarkan hasil tipu muslihat yang dilakukan Turut Termohon terkait nilai kerugian.”

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkara adalah “Menyatakan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor 624/X/ARB-BANI/2014 tanggal 18 Februari 2016 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat” dan “Membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia tanggal 18 Februari 2016 berikut segala akibat hukumnya”.

Pertimbangan Majelis Hakim diantaranya adalah:

Menimbang, bahwa menyikapi tentang Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase tersebut, maka Mahkamah Konstitusi di dalam Putusannya Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014 telah membatalkan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 karena dirasa bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;”

“Menimbang, bahwa berkaitan dengan dalil yang dikemukakan oleh Termohon dan Turut Termohon, benar setelah Majelis memperhatikan dan mencermati serta mempelajari bukti surat yang diajukan dalam perkara ini, khususnya bukti surat yang diajukan oleh Pemohon, Majelis Hakim tidak menemukan padanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar Pemohon untuk mengajukan permohonannya;”

“Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim berpendapat kalau PT. PML telah melakukan pengecekan lahan  seluas lebih kurang 2.836 (dua ribu delapan ratus tiga puluh enam) Ha apalagi dengan menghitung jumlah kerugian apalagi ditambah dengan menghitung jumlah kerusakan hutan yang hanya dilakukan dalam waktu 1 (satu) hari menurut hemat Majelis adalah tidak mungkin, karena itu maka alasan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pemohon adalah dapat dibenarkan, sehingga menurut hemat Majelis unsur adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. PML dapatlah dibuktikan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat putusan Arbitrase BANI Perkara Nomor : 624/X/ARB-BANI/2014, tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan.”

Penulis sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim  perkara ini karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014,   pembatalan putusan arbitrase dengan dasar alasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tidaklah diperlukan terlebih dahulu adanya putusan perkara pidana.

Dari pertimbangan di atas menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangannya telah memasukkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

            Pembuktian adanya tipu muslihat sudah tidak didasarkan pada adanya putusan pengadilan dari pengadilan pidana sebelumnya, namun berdasarkan pemeriksaan dalam sidang permohonan pembatalan putusan arbitrase itu sendiri,  yaitu “... hanya dilakukan dalam waktu 1 (satu) hari menurut hemat Majelis adalah tidak mungkin, karena itu maka alasan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pemohon adalah dapat dibenarkan, sehingga menurut hemat Majelis unsur adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. PML dapatlah dibuktikan;

Pada tingkat Banding, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 163/PDT.G/ARB/2016/PN.JKT.PST tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 807. B/Pdt.Sus-Arbt/2016 dengan salah satu pertimbangannya,

“Bahwa kesimpulan Judex Facti yang berpendapat bahwa tidak mungkindapat melakukan pengecekan dan lain-lain atas lahan seluar 2.836 Ha hanya dalam waktu 1 (satu) hari saja tidak dapat dibenarkan, karena tidak ternyata (tidak terbukti) penarikan kesimpulan atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh Judex Facti dalam perkara a quo tidak didasarkan suatu fakta yang benar-benar telah terjadi dan dilakukan oleh Turut Tergugat dengan cara pengecekan manual atau sederhana seperti di masa-masa 20 atau 30 tahun yang lalu yang dapat mengarahkan Judex Facti untuk membuat suatu kesimpulan tidak mungkin tersebut, dan pula Judex Facti dalam menyimpulkan hal tersebut tidak ternyata berdasarkan adanya bukti pembanding atas hasil appraisal yang sah tersebut”

Dari pertimbangan di atas,  menunjukkan bahwa Majelis Hakim pada tinggkat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung menunjukkan bahwa untuk membuktikan ada atau tidaknya tipu muslihat dalam Putusan Arbitrase tidak digantungkan pada putusan peradilan pidana terlebih dahulu.

5. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1.  Pembatalan putusan arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999, alasannya sudah ditentukan secara limitatif.  Putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan hanya apabila  putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.  surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,  diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c.     putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

Alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 harus pula memenuhi persyaratat formil, bahwa alasan permohonan pembatalan yang digunakan dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.[3]  Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014, alasan permohonan pembatalan yang digunakan dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak harus dibuktikan dengan putusan pengadilan terlebih dahulu.


2. Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa alasannya tidak terbatas hanya pada alasan yang sudah ditentukan oleh Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999. 

Saran
1.  Para pihak  perlu lebih memahami ketentuan-ketentuan pembatalan putusan arbitrase berdasar produk hukum  Indonesia maupun  Konvensi NewYork 1958.  Saran ini mengingat bahwa dalam praktek masih ditemukan permohonan pembatalan menggunakan dasar alasan penolakan dan sebaliknya,  permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional diajukan ke pengadilan di Indonesia dan lain sebagainya.
2.   Perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 khususnya perihal ketentuan pembatalan putusan arbitrase, agar  selaras dengan ketentuan yang berlaku secara internasional, misalnya UNCITRAL Model Law.



[1] Cetak tebal atau warna oleh Penulis.
[2] Indonesia, UU No. 30 Tahun 1999, Op Cit. Pasal 1 angka 3.
[3] Sesuai ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 sebelum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.

Tuesday, August 1, 2017

Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Menurut Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999


LIMITATIF atau TIDAK LIMITATIF  ? 

Dalam Pasal 70  UU Nomor 30 Tahun 1999, ada  tiga alasan secara alternatif sebagai dasar untuk permohonan pembatalan putusan arbitrase.  Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan,

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut[1]:
a.    surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,  diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.    setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c.    putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”


Sementara dalam Penjelasan Umum Alenia ke-18 UU Nomor 30 Tahun 1999, menyebutkan,

“Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain[2]:
a.    surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.    setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c.    putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak sengketa.”


Adanya frase ...sebagai berikut: dan “...antara lain:” yang berada sebelum menyebut alasan-alasan yang menjadi dasar pembatalan putusan arbitrase, menimbulkan tafsir yang berbeda beda mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase.  Frase “...sebagai berikut: dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengandung makna bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase telah ditentukan secara limitatif, sementara  adanya frase “...antara lain:” dalam Penjelasan Umum Alenia ke-18 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengandung makna bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase tidak limitatif.  Frase “...antara lain:” mengandung makna yang sama dengan menyebut sebagian saja dari beberapa yang lain. 

Perbedaan frase “...sebagai berikut:” dan “...antara lain:”, memuncul pertanyaan, “Alasan yang menjadi dasar pembatalan putusan arbitrase  limitatif atau tidak limitatif?”

            Jika merujuk pada butir 176 dan 178 Lampiran II Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatakan, “... Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.” dan “Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan”, maka kata “antara lain” dalam Penjelasan Umum Alenia ke-18 UU Nomor 30 Tahun 1999, yang menyebutkan, “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain : ... “ menurut Penulis telah mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dan perubahan terselubung terhadap ketentuan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999. Oleh karena itu menurut Penulis apabila ada perbedaan penafsiran/ketentuan antara suatu pasal  dengan suatu penjelasan maka yang berlaku adalah ketentuan dalam pasal, dalam hal ini yang berlaku adalah Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 bukan Penjelasan Umum.  Jadi alasan pembatalan putusan arbitrase ditentukan bersifat “limitatif”.

Alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 harus pula memenuhi persyaratat formil, bahwa alasan permohonan pembatalan yang digunakan dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.[3]   Dengan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999[4] tersebut, apabila di dalam persidangan pemohon tidak berhasil menunjukkan atau membuktikan bahwa alasan  yang digunakan sebagai dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase telah mendapatkan putusan pengadilan pidana maka permohonan pembatalan putusan arbitrase ditolak.




[1] Cetak tebal oleh Penulis.
[2] Cetak tebal oleh Penulis.
[3] Ibid., Penjelasan Pasal  70. Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”
[4] Berdasarkan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999, sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 15/PUU-VII/2014 tanggal 23 Oktober 2014.

Thursday, July 6, 2017

Pelaksanaan Putusan Arbitrase

         
         Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.[1] Dengan memilih arbitrase sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, seharusnya para pihak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela.  Namun demikian, kadang atau bahkan sering ada pihak yang tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase.  UU Nomor 30 Tahun 1999 memberikan  ketentuan langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela.   Pengaturan Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional berbeda dengan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64, sedangkan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di atur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.
           
Agar putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri, putusan arbitrase tersebut harus didaftarkan  dahulu ke Panietra Pengadilan Negeri.[2]  Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.[3]  Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.   Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.[4]   Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan,

“Pasal 4

(1)  Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.”

“Pasal 5

(1)  Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)  Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.”


Adapun khusus Putusan Arbitrase internasional, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.  Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
b.  Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c.  Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d.   Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e.  Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.  Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.[5]




[1] Ibid., Pasal 60. 
[2] Ibid., Pasal 59 ayat (1) jo ayat (4). “Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.” dan
“Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.”
[3] Ibid., Pasal 61. 
[4] Ibid., Pasal 62 ayat (3). 
[5] Ibid., Pasal 69.  

Kewenangan Arbitrase


Dari definisi arbitrase dalam Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kewenangan arbitrase diberikan oleh perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, “ ... penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase ...”.   Dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke peradilan umum.  Pasal 11 ayat (1)  UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan, Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”

Selain membatasi hak para pihak yang bersengketa mengajukan penyelesaian sengketa ke peradilan umum, adanya perjanjian arbitrase juga meniadakan kewenangan peradilan umum menyelesaikan sengketa perkara yang telah ditetapkan melalui arbitrase.  Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan, “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”  Bahkan peradilan umum wajib menolak dan tidak campur tangan dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2),

“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”

Ruang lingkup kewenangan arbitrase dibatasi oleh jenis perkara. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 membatasi bahwa kewenangan arbitrase hanya menyelesaikan suatu sengketa perdata.  Namun tidak semua sengketa perdata bisa diselesaikan melalui arbitrase.  Kewenangan arbitrase lebih spesifik ditentukan oleh UU Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (1), Pasal 66 huruf b dan Penjelasan Pasal 66 huruf b.  Pasal 5 ayat (1),

“Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”


Pasal 66 huruf b,

“Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.”
Penjelasan Pasal 66 huruf b,

“Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain
bidang :
• perniagaan;
• perbankan;
• keuangan;
• penanaman modal;
• industri;

• hak kekayaan intelektual.”

Perjanjian Arbitrase


          Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[1]  Jika dikaitkan dengan pengertian arbitrase, maka perjanjian arbitrase merupakan dasar atau syarat utama dilaksanakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.  Perjanjian arbitrase memberikan kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.  Tidak ada arbitrase tanpa adanya perjanjian arbitrase.

Sebagai suatu perjanjian, perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak.  Para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian arbitrase, diantaranya menentukan pilihan hukum (choice of law) atau hukum yang mengatur (governing law), pilihan forum penyelesaian sengketa, lokasi penyelesiaan sengketa dan sebagainya.  Namun demikian asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian arbitrase dibatasi dengan syarat subyektif dan syarat obyektif sebagai berikut:
a.     Syarat Subyektif.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320[2] Kitab Undang Undang Hukum Perdata, syarat subyektif sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak.  Selain itu, dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa “Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik”.  Meskipun subyek hukum publik dapat melakukan perjanjian arbitrase, tetapi dibatasi oleh ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999, “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

b.     Syarat obyektif
Syarat obyektif sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah tentang suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang.  Dalam hal perjanjian arbitrase,  syarat obyektif di atur dalam Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan,

“(1). Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2). Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.”

dan  Penjelasan Pasal 66 huruf b UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan,

Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
-          perniagaan;
-          perbankan;
-          keuangan;
-          penanaman modal;
-          industri;
-          hak kekayaan intelektual.”

Bentuk perjanjian arbitrase ada dua, yaitu perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum timbul sengketa dinamakan pactum de compromittendo, sedangkan perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbul sengketa dinamakan acta de compromiso (acte van compromis atau deed of compromise).[3]

Apabila perjanjian arbitase dibuat setelah timbulnya sengketa, maka perjanjian mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam dalam bentuk akta notaris dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian arbitrase tersebut.  Perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbulnya sengketa harus memuat hal-hal sebagaimana di tentukan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 9 ayat (3), yaitu:
      a)    masalah yang dipersengketakan;
b)    nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c)    nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d)    tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e)    nama lengkap sekretaris;
f)     jangka waktu penyelesaian sengketa;
g)    pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h)  pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Perjanjian arbitrase mempunyai prinsip independensi.  Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan:

“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini:
a.    meninggalnya salah satu pihak;
b.    bangkrutnya salah satu pihak;
c.    novasi;
d.    insolvensi salah satu pihak;
e.    pewarisan;
f.     berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h.    berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”

Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut menunjukkan prinsip independensi perjanjian arbitrase.  Perjanjian arbitrase tidak menjadi batal dengan berlakunya syarat-syarat hapusnya kontrak dasar, berakhirnya kontrak dasar atau batalnya kontrak dasar.  Perjanjian arbitrase baik berupa kalusul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri tetap harus dilihat sebagai perjanjian yang terpisah dari kontrak dasar.  Sekalipun, secara fisik klausul arbitrase merupakan bagian dari kontrak dasar, namun secara hukum kalusul arbitrase tetap harus diperlakukan sebagai kontrak yang independen dari kontrak dasar dimaksud.[4]




[1] Indonesia, UU No. 30 Tahun 1999, Op Cit. Pasal 1 angka 3.
[2] Pasal 1320 Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
[3] Ramlan, Op.Cit., h 334.

[4] Ibid., h. 341.

ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (Membandingkan Putusan Peradilan vs Pasal 70 UU Arbitrase)

    ABSTRAK Tulisan ini dilatarbelakangi oleh bervariasinya dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan putusan arbitrase...