DISCLAIMER

Tulisan-tulisan pada blog ini merupakan tulisan pribadi Penulis. Apabila Penulis mengutip dari karya orang lain, maka Penulis akan mencantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemikiran/analisis/pendapat (seandainya ada) dari Penulis bersifat umum dan tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum. Untuk nasehat hukum yang dapat diterapkan pada permasalahan yang anda hadapi, silakan menghubungi kami melalui email: budi@tbs-plus.com.

Thursday, July 6, 2017

Pelaksanaan Putusan Arbitrase

         
         Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.[1] Dengan memilih arbitrase sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, seharusnya para pihak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela.  Namun demikian, kadang atau bahkan sering ada pihak yang tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase.  UU Nomor 30 Tahun 1999 memberikan  ketentuan langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela.   Pengaturan Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional berbeda dengan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64, sedangkan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di atur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.
           
Agar putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri, putusan arbitrase tersebut harus didaftarkan  dahulu ke Panietra Pengadilan Negeri.[2]  Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.[3]  Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.   Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.[4]   Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan,

“Pasal 4

(1)  Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.”

“Pasal 5

(1)  Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)  Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.”


Adapun khusus Putusan Arbitrase internasional, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.  Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
b.  Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c.  Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d.   Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e.  Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.  Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.[5]




[1] Ibid., Pasal 60. 
[2] Ibid., Pasal 59 ayat (1) jo ayat (4). “Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.” dan
“Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.”
[3] Ibid., Pasal 61. 
[4] Ibid., Pasal 62 ayat (3). 
[5] Ibid., Pasal 69.  

Kewenangan Arbitrase


Dari definisi arbitrase dalam Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kewenangan arbitrase diberikan oleh perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, “ ... penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase ...”.   Dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke peradilan umum.  Pasal 11 ayat (1)  UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan, Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”

Selain membatasi hak para pihak yang bersengketa mengajukan penyelesaian sengketa ke peradilan umum, adanya perjanjian arbitrase juga meniadakan kewenangan peradilan umum menyelesaikan sengketa perkara yang telah ditetapkan melalui arbitrase.  Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan, “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”  Bahkan peradilan umum wajib menolak dan tidak campur tangan dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2),

“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”

Ruang lingkup kewenangan arbitrase dibatasi oleh jenis perkara. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 membatasi bahwa kewenangan arbitrase hanya menyelesaikan suatu sengketa perdata.  Namun tidak semua sengketa perdata bisa diselesaikan melalui arbitrase.  Kewenangan arbitrase lebih spesifik ditentukan oleh UU Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (1), Pasal 66 huruf b dan Penjelasan Pasal 66 huruf b.  Pasal 5 ayat (1),

“Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”


Pasal 66 huruf b,

“Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.”
Penjelasan Pasal 66 huruf b,

“Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain
bidang :
• perniagaan;
• perbankan;
• keuangan;
• penanaman modal;
• industri;

• hak kekayaan intelektual.”

Perjanjian Arbitrase


          Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[1]  Jika dikaitkan dengan pengertian arbitrase, maka perjanjian arbitrase merupakan dasar atau syarat utama dilaksanakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.  Perjanjian arbitrase memberikan kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.  Tidak ada arbitrase tanpa adanya perjanjian arbitrase.

Sebagai suatu perjanjian, perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak.  Para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian arbitrase, diantaranya menentukan pilihan hukum (choice of law) atau hukum yang mengatur (governing law), pilihan forum penyelesaian sengketa, lokasi penyelesiaan sengketa dan sebagainya.  Namun demikian asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian arbitrase dibatasi dengan syarat subyektif dan syarat obyektif sebagai berikut:
a.     Syarat Subyektif.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320[2] Kitab Undang Undang Hukum Perdata, syarat subyektif sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak.  Selain itu, dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa “Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik”.  Meskipun subyek hukum publik dapat melakukan perjanjian arbitrase, tetapi dibatasi oleh ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999, “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

b.     Syarat obyektif
Syarat obyektif sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah tentang suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang.  Dalam hal perjanjian arbitrase,  syarat obyektif di atur dalam Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan,

“(1). Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2). Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.”

dan  Penjelasan Pasal 66 huruf b UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan,

Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
-          perniagaan;
-          perbankan;
-          keuangan;
-          penanaman modal;
-          industri;
-          hak kekayaan intelektual.”

Bentuk perjanjian arbitrase ada dua, yaitu perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum timbul sengketa dinamakan pactum de compromittendo, sedangkan perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbul sengketa dinamakan acta de compromiso (acte van compromis atau deed of compromise).[3]

Apabila perjanjian arbitase dibuat setelah timbulnya sengketa, maka perjanjian mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam dalam bentuk akta notaris dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian arbitrase tersebut.  Perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbulnya sengketa harus memuat hal-hal sebagaimana di tentukan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 9 ayat (3), yaitu:
      a)    masalah yang dipersengketakan;
b)    nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c)    nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d)    tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e)    nama lengkap sekretaris;
f)     jangka waktu penyelesaian sengketa;
g)    pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h)  pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Perjanjian arbitrase mempunyai prinsip independensi.  Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan:

“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini:
a.    meninggalnya salah satu pihak;
b.    bangkrutnya salah satu pihak;
c.    novasi;
d.    insolvensi salah satu pihak;
e.    pewarisan;
f.     berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h.    berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”

Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut menunjukkan prinsip independensi perjanjian arbitrase.  Perjanjian arbitrase tidak menjadi batal dengan berlakunya syarat-syarat hapusnya kontrak dasar, berakhirnya kontrak dasar atau batalnya kontrak dasar.  Perjanjian arbitrase baik berupa kalusul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri tetap harus dilihat sebagai perjanjian yang terpisah dari kontrak dasar.  Sekalipun, secara fisik klausul arbitrase merupakan bagian dari kontrak dasar, namun secara hukum kalusul arbitrase tetap harus diperlakukan sebagai kontrak yang independen dari kontrak dasar dimaksud.[4]




[1] Indonesia, UU No. 30 Tahun 1999, Op Cit. Pasal 1 angka 3.
[2] Pasal 1320 Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
[3] Ramlan, Op.Cit., h 334.

[4] Ibid., h. 341.

Sumber Hukum Arbitrase di Indonesia


Di Indonesia, saat ini undang undang yang mengatur tentang arbitrase adalah Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN No. 138 Tahun 1999  TLN No.3872 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 1999.  Jauh sebelumnya, arbitrase sudah berlaku di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda.  Ketentuan arbitrase zaman kolonial Belanda di atur dalam Pasal 615 sampai dengan 651 Reglement op de Rechtsvordering (RV), yang mengatur hal-hal   sebagai berikut:
i.    Pasal 615 sampai dengan 623 tentang Perjanjian Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter.
ii.   Pasal 624 sampai dengan 630 tentang Pemeriksaan di hadapan Arbitrase.
iii. Pasal 631 sampai dengan 640 tentang Putusan arbitrase.
iv. Pasal 641 sampai dengan 647 tentang Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
v.   Pasal 648 sampai dengan 651 tentang Berakhirnya Acara Arbitrase.,

RV merupakan Kitab Undang Undang Hukum Acara yang berlaku untuk golongan Eropa, namun Pasal 377 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), dan Pasal 705 Rechtsreglement Bitengewesten (RBG) menyatakan:

 “Jika orang Bumiputera dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh arbitrase (juru pisah), maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa”,

sehingga dapat disimpulkan bahwa:
i.    para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau arbitrase;
ii.   juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan
iii. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa.

Setelah Indonesia merdeka, Pasal 615 sampai dengan 651 RV jo Pasal 377 HIR jo Pasal 705 RBG tetap berlaku di Indonesia.  Dasar berlakunya ketentuan tersebut setelah Indonesia merdeka adalah:
  1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945[1],
  2. Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUDS 1950[2], dan
  3. Pasal 192 Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS.[3]

Sejak tanggal 12 Agustus 1999 yaitu dengan diundangkannya Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian, maka Pasal 615 sampai dengan 651 RV jo Pasal 377 HIR jo Pasal 705 RBG sudah tidak berlaku lagi[4].  Paragraf keenam Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan,

“Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglementop de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan condido sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglementop de Rechtvordefing). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.”


Materi yang di atur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 adalah:
a.    Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5);
b.    Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 6);
c.    Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbitrase, dan Hak Ingkar (Pasal 7 sampai dengan Pasal 26);
d.    Hukum Acara Arbitrase (Pasal 27 sampai dengan Pasal 51);
e.    Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52 sampai dengan Pasal 58);
f.     Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59 sampai dengan Pasal 69);
g.    Pembatalan Putusan Arbitrase (Pasal 70 sampai dengan Pasal 72);
h.    Berakhirnya Tugas Arbitrase (Pasal 73 sampai dengan Pasal 75);
i.      Biaya Arbitrase (Pasal 76 dan Pasal 77);
j.      Ketentuan Peralihan (Pasal 78 sampai dengan Pasal 80);dan
k.    Ketentuan Penutup (Pasal 81 dan Pasal 82).

Selain UU Nomor 30 Tahun 1999, sumber hukum berlakunya arbitrase dalam tata hukum di Indonesia diatur juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  48  Tahun  2009 tentang Kekuasan Kehakiman.   UU Nomor  48  Tahun  2009 pada Bab Pelaku Kekuasaan Kehakiman Bagian Kesatu Umum Pasal 18 menyebutkan,

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”


Namun demikian dalam Bab Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Pasal 58, disebutkan, Upaya penyelesaian  sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.”          
Selain produk hukum Indonesia, dalam hukum arbitrase di Indonesia juga berlaku produk hukum dari luar negeri yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign atau sering disebut Konvensi New York 1958.   Konvensi New York 1958 dengan tambahan pernyataan yang dibuat Indonesia menjadi hukum positif Indonesia karena sudah diratifikasi melalui Keputusan Presiden  Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981,  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40.[5]

Pada saat melakukan ratifikasi, Indonesia membuat deklarasi bahwa bagi Indonesia Konvensi New York 1958 hanya berlaku terhadap perselisihan-perselisihan yang timbul dari hubungan hukum, baik hubungan hukum yang bersifat kontraktual maupun hubungan hukum yang tidak bersifat kontraktual, yang dianggap bersifat komersial berdasar hukum Indonesia.   Bahwa atas dasar prinsip resiproritas, Indonesia akan memberlakukan Konvensi New York 1958 untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase yang dibuat di negara anggota Konvensi lainnya.[6]




[1] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Pasal II Aturan Peralihan, “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”
[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pasal 142 Ketentuan Peralihan, “Peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak burubah sebagai peraturan-peraturan RI sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa UUD ini”
[3] Indonesia, Konstitusi RIS. Pasal 192 Ketentuan Peralihan, “Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini”.
[4] Indonesia,Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengkata, UU No. 30 Tahun 1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No.3872, Pasal 81. “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechrsvordering, Staatsblad 1847.52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941.44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reehtsregement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
[5] Mengesahkan "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards" yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959, disertai suatu pernyataan, yang naskah-naskahnya terlampir pada Keputusan Presiden ini.
[6] Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2016), h. 85.

Pengertian Arbitrase


        Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mendefinisikan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[1]  Adapun pengertian arbitrase menurut beberapa ahli hukum adalah sebagai berikut:
  1. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works menyebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.  Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.[2]
  2. Altschul mengatakan bahwa: “Arbitratino is an alternative dispute resolution system that is agreed to by all parties to a dispute. This system provides for private resolution of disputes in a speedy fashion.”[3]
  3. Dalam Black’s Law Dictionary: arbitration, a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding.[4]
  4. Subekti menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.[5]
Secara sederhana, arbitrase adalah persetujuan para pihak yang berjanji sebelumnya apabila terjadi pertikaian diantara mereka, maka mereka setuju untuk menyelesaikannya dengan jalan arbitrase di mana pihak ketiga yang netral diberikan wewenang menyelesaikan pertikaian tersebut.[6] 

Arbitrase memiliki karakteristik sebagai berikut[7]: (i) terdapat perjanjian arbitrase; (ii) arbitor atau para arbitor dipilih oleh para pihak; (iii) arbitor atau para arbitor adalah orang atau orang-orang yang ahli di bidangnya namun tidak harus ahli hukum; (iv) pemeriksaan arbitrase pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, tetapi pemeriksaan arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip keadilan dan kepatutan jika disepakati demikian oleh para pihak; (v) pemeriksaan arbitrase bersifat tertutup sehingga reputasi para pihak yang berselisih tetap terjaga dengan baik; (vi) prosedur pelaksanaan arbitrase bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan jenis atau sifat perselisihan berdasarkan kesepakatan para pihak; (vii) pelaksanaan pemeriksaan arbitrase pada dasarnya relatif cepat; (vii) tidak ada “tingkatan peradilan” seperti yang terdapat pada peradilan umum; (ix) biaya pelaksanaan arbitrase relatif ‘murah’; (x) putusan arbitrase (arbital award) bersifat final dan binding sama seperti putusan peradilan pada umumnya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; dan (xi) putusan arbitrase tidak dipublikasikan, kecuali disetujui oleh para pihak.

Ada beberapa alasan mengapa arbitrase menarik bagi kaum pengusaha, investor, pedagang, yaitu:[8]
a.    Arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang luas bagi mereka.
b.    Rasa aman terhadap ketidakpastian karena sistem hukum yang berbeda.
c.    Perlindungan terhadap keputusan hakim yang berat sebelah.
d.    Kepercayaan yang lebih besar terhadap kemampuan arbiter (expertise)
e.    Cepat dan hemat biaya.
f.     Bersifat rahasia.
g.    Bersifat non preseden.
h.    Sensibilitas dari para arbiter terhadap perkara.
i.      Perundangan modern karena memberikan otonomi, kebebasan dan fleksibilitas secara maksimal dalam menyelesaikan sengketa.




[1] Indonesia,Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengkata, UU No. 30 Tahun 1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No.3872, Pasal 1 angka 1.
[2] Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Cet. ke-2, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 78.
[3] Stanford M. Altschul, The Most Important Legal terms You’ll Ever Need To Know, 1994. Dalam Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Cet. ke-2, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 78-79.
[4] Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (St. Paul MN: West Publishing Co., 1999), h. 100.
[5] Subekti, Arbitrase di Indonesia, Kumpulan Karangan tentang Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1990).  Dalam Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Cet. ke-2, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 79
[6] Susanti, Op.Cit., h. 85.
[7] Ramlan Ginting, Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional, Ed. Revisi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2014), h. 312-313.
[8] Susanti, Op.Cit., h. 85

ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (Membandingkan Putusan Peradilan vs Pasal 70 UU Arbitrase)

    ABSTRAK Tulisan ini dilatarbelakangi oleh bervariasinya dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan putusan arbitrase...