DISCLAIMER

Tulisan-tulisan pada blog ini merupakan tulisan pribadi Penulis. Apabila Penulis mengutip dari karya orang lain, maka Penulis akan mencantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemikiran/analisis/pendapat (seandainya ada) dari Penulis bersifat umum dan tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum. Untuk nasehat hukum yang dapat diterapkan pada permasalahan yang anda hadapi, silakan menghubungi kami melalui email: budi@tbs-plus.com.

Thursday, July 6, 2017

Perjanjian Arbitrase


          Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[1]  Jika dikaitkan dengan pengertian arbitrase, maka perjanjian arbitrase merupakan dasar atau syarat utama dilaksanakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.  Perjanjian arbitrase memberikan kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.  Tidak ada arbitrase tanpa adanya perjanjian arbitrase.

Sebagai suatu perjanjian, perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak.  Para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian arbitrase, diantaranya menentukan pilihan hukum (choice of law) atau hukum yang mengatur (governing law), pilihan forum penyelesaian sengketa, lokasi penyelesiaan sengketa dan sebagainya.  Namun demikian asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian arbitrase dibatasi dengan syarat subyektif dan syarat obyektif sebagai berikut:
a.     Syarat Subyektif.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320[2] Kitab Undang Undang Hukum Perdata, syarat subyektif sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak.  Selain itu, dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa “Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik”.  Meskipun subyek hukum publik dapat melakukan perjanjian arbitrase, tetapi dibatasi oleh ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999, “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

b.     Syarat obyektif
Syarat obyektif sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah tentang suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang.  Dalam hal perjanjian arbitrase,  syarat obyektif di atur dalam Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan,

“(1). Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2). Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.”

dan  Penjelasan Pasal 66 huruf b UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan,

Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
-          perniagaan;
-          perbankan;
-          keuangan;
-          penanaman modal;
-          industri;
-          hak kekayaan intelektual.”

Bentuk perjanjian arbitrase ada dua, yaitu perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum timbul sengketa dinamakan pactum de compromittendo, sedangkan perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbul sengketa dinamakan acta de compromiso (acte van compromis atau deed of compromise).[3]

Apabila perjanjian arbitase dibuat setelah timbulnya sengketa, maka perjanjian mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam dalam bentuk akta notaris dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian arbitrase tersebut.  Perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbulnya sengketa harus memuat hal-hal sebagaimana di tentukan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 9 ayat (3), yaitu:
      a)    masalah yang dipersengketakan;
b)    nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c)    nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d)    tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e)    nama lengkap sekretaris;
f)     jangka waktu penyelesaian sengketa;
g)    pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h)  pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Perjanjian arbitrase mempunyai prinsip independensi.  Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999 mengatakan:

“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini:
a.    meninggalnya salah satu pihak;
b.    bangkrutnya salah satu pihak;
c.    novasi;
d.    insolvensi salah satu pihak;
e.    pewarisan;
f.     berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h.    berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”

Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut menunjukkan prinsip independensi perjanjian arbitrase.  Perjanjian arbitrase tidak menjadi batal dengan berlakunya syarat-syarat hapusnya kontrak dasar, berakhirnya kontrak dasar atau batalnya kontrak dasar.  Perjanjian arbitrase baik berupa kalusul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri tetap harus dilihat sebagai perjanjian yang terpisah dari kontrak dasar.  Sekalipun, secara fisik klausul arbitrase merupakan bagian dari kontrak dasar, namun secara hukum kalusul arbitrase tetap harus diperlakukan sebagai kontrak yang independen dari kontrak dasar dimaksud.[4]




[1] Indonesia, UU No. 30 Tahun 1999, Op Cit. Pasal 1 angka 3.
[2] Pasal 1320 Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
[3] Ramlan, Op.Cit., h 334.

[4] Ibid., h. 341.

No comments:

Post a Comment

ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (Membandingkan Putusan Peradilan vs Pasal 70 UU Arbitrase)

    ABSTRAK Tulisan ini dilatarbelakangi oleh bervariasinya dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan putusan arbitrase...